Jumat, 08 April 2011

Proposal Ilmiah

EFEKTIVITAS TERAPI BERMAIN

BAGI ANAK PENYANDANG AUTISME

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh:

FEBRINA NUR SULISTIYAWATI (10508078)

Kelas : 3PA06

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS GUNADARMA

2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberikan rahmat dan tuntunan-Nya dalam menyelesaikan tugas Proposoal Penelitian ini. Tugas Proposal Penelitian ini berisikan Mengenai Efektivitas Terapi Bermain Bagi Anak Penyandang Autis. Dengan selesainya tugas ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya serta petunjuk-Nya sehingga tugas Proposal Penelitian yang berjudul ”Efektivitas Terapi Bermain Bagi Anak Penyandang Autis” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

2. Dosen saya, Bpk. A.M Heru Basuki yang telah membimbing saya pada mata kuliah Pendekatan Kualitatif.

3. Orang tua, teman-teman serta seluruh pihak yang turut serta terlibat dalam pembuatan tugas ini hingga selesai.

Proposal Penelitian ini tentunya tidak terlepas dari berbagai macam kesalahan serta kekurangan yang tidak dapat dihindari, yang dikarenakan keterbatasan sarana, prasarana, waktu ataupun karena keterbatasan kami. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi lebih baiknya tugas kami berikutnya. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bekasi, 24 Desember 2010

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1

B. Pertanyaan Penelitian................................................................................................. 2

C. Tujuan Penelitian........................................................................................................ 2

D. Manfaat Teori Penelitian............................................................................................ 2

1. Manfaat Teoritis.................................................................................................... 2

2. Manfaat Praktis..................................................................................................... 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA............................................................................................ 3

A. Pengertian Autisme.................................................................................................... 3

B. Karakteristik Autisme................................................................................................ 4

C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Autisme............................................................... 5

D. Terapi Bermain........................................................................................................... 7

1. Pengertian Bermain............................................................................................... 7

2. Permainan sebagai Terapi...................................................................................... 8

3. Terapi Bermain..................................................................................................... 10

4. Efektivitas Terapi Bermain.................................................................................. 14

E. Hasil Analisis Penulis................................................................................................ 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................................... 16

A. Pendekatan Penelitian............................................................................................... 16

B. Subjek Penelitian....................................................................................................... 16

1. Karakteristik Subjek Penelitian............................................................................ 16

2. Jumlah Sampel..................................................................................................... 17

C. Tahap-tahap Penelitian.............................................................................................. 17

1. Tahap Persiapan................................................................................................... 17

2. Tahap Pelaksanaan............................................................................................... 17

3. Tahap Analisis...................................................................................................... 18

D. Teknik Pengumpulan Data........................................................................................ 18

1. Teknik Wawancara.............................................................................................. 18

a. Definisi Wawancara........................................................................................ 18

b. Jenis-jenis Wawancara..................................................................................... 19

2. Observasi............................................................................................................. 19

a. Definisi Observasi........................................................................................... 19

b. Jenis-jenis Observasi........................................................................................ 20

E. Alat Bantu Pengumpulan Data................................................................................. 20

1. Pedoman Wawancara.......................................................................................... 20

2. Alat Perekam....................................................................................................... 20

3. Lembar Observasi................................................................................................ 20

4. Alat Tulis............................................................................................................. 20

F. Trianggulasi............................................................................................................... 21

G. Teknik Analisis Data................................................................................................. 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Autisme merupakan fenomena yang masih menyimpan banyak rahasia walaupun telah diteliti lebih dari 60 tahun yang lalu. Autisme, sebuah kelainan fungsi otak yang parah, ditandai dengan kemunduran interaksi sosial, kelemahan dalam berkomunikasi dan berimajinasi, dan memiliki lingkup aktivitas dan ketertarikan yang sangat terbatas. Kelainan tersebut biasanya muncul pada tiga tahun pertama dan akan terus berlangsung hingga rentang waktu yang bervariasi. Empat dari lima autisme adalah laki-laki (Papalia, Olds, dan Feldman, 2007).

Autisme adalah salah satu kelompok Autistic Spectrum Disorders (ASD) yang dapat merentang dari ringan sampai parah, dan semakin menjadi umum ketimbang sebelumnya, perkiraan terbaru adalah 6 dari 1.000 anak menderita kelainan ini (Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Sampai saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan maupun penanganan yang tepat. Pada awalnya autisme dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional. Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak. Pada awal tahun 1970, penelitian tentang ciri-ciri anak autisme berhasil menentukan kriteria diagnosis yang selanjutnya digunakan dalam DSM-III. Gangguan autisme didefinisikan sebagai gangguan perkembangan dengan tiga ciri utama, yaitu gangguan pada interaksi sosial, gangguan pada komunikasi, dan keterbatasan minat serta kemampuan imajinasi.

Autisme tidak ada obatnya, akan tetapi dengan diagnosis dan intervensi yang lebih awal, peningkatan yang terkadang substansial dapat terjadi. Sebagian anak autisme dapat diajar berbicara, membaca , dan menulis. Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda. Salah satunya adalah terapi bermain. Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autisme membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.

Berdasarkan keterangan diatas peneliti ingin mengetahui apa saja karakteristik penyandang autisme, mengapa terapi bermain efektif untuk mengurangi gejala autisme dan bagaimana proses terapi bermain terhadap subjek. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dari penyandang autisme, sejauh mana terapi bermain efektif untuk mengurangi gejala autisme, dan bagaimana proses terapi bermain terhadap subjek.

B. Pertanyaan Penelitian

1. Apakah karakteristik penyandang autisme ?

2. Mengapa terapi bermain efektif untuk mengurangi gejala autisme ?

3. Bagaimana proses terapi bermain terhadap subjek ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui karakteristik dari penyandang autisme.

2. Untuk mengetahui sejauh mana terapi bermain efektif untuk mengurangi gejala autisme.

3. Untuk mengetahui bagaimana proses terapi bermain terhadap subjek.

D. Manfaat Teori Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah pengetahuan di bidang psikologi terutama psikologi klinis, khususnya bagi mahasiswa psikologi tentang gambaran efektivitas terapi bermain terhadap penyandang Autisme.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para orang tua maupun pihak lembaga-lembaga terapi untuk mengenal atau menggunakan terapi bermain agar dapat meringankan gejala pada penyandang autisme.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Autisme

Sejak pertama kali diketahui, gangguan autisme telah memiliki aura yang agak mistis. Sindrom tersebut diidentifikasi pada tahun 1943 oleh seorang psikiater di Harvard, Leo Kanner yang suatu saat dalam pelaksanaan pekerjaan klinisnya mengamati bahwa sebelas anak yang mengalami gangguan menunjukkan perilaku yang tidak ditemukan pada anak-anak retardasi mental dan skizofrenia. Ia menamai sindrom tersebut Autisme Infantil dini karena ia mengamati bahwa “sejak awal terdapat suatu kesendirian autisme ekstrim yang kapanpun memungkinkan tidak memedulikan, mengabaikan, menutup diri, dari segala hal yang berasal dari luar dirinya”. (Davison, Neale, & Kring, 2006).

Kanner menganggap kesendirian autisme merupakan simtom fundamental. Ia juga menemukan bahwa sejak awal kehidupan mereka kesebelas anak tersebut tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara wajar. Mereka memiliki keterbatasan yang parah dalam bahasa dan memiliki keinginan obsesif yang kuat agar segala sesuatu yang berkaitan dengan mereka tetap persis sama. Terlepas dari deskripsi awal oleh Kanner dan yang lain, gangguan tersebut tidak dimasukan dalam klasifikasi diagnostik resmi hingga terbitnya DSM-III pada tahun 1980. (Davison, Neale, & Kring, 2006).

Autisme adalah salah satu (yang paling dikenal) diantara beberapa gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan keterlambatan dan gangguan yang parah pada beberapa area perkembangan, seperti pada interaksi sosial, komunikasi dengan orang lain, perilaku bermain, aktivitas sosial, dan minat sehari-hari. Beberapa penyandang autisme juga mengalami keterbelakangan mental atau retardasi mental dalam taraf sedang (dalam Nuryanti, 2008).

Anak-anak dengan autisme tampak mengalami masalah keterampilan sosial yang berat. Mereka jarang mendekati orang lain dan pandangan mata mereka seolah melewati orang lain atau membalikan badan memunggungi mereka. Contohnya sebuah studi menunjukkan bahwa anak-anak autime jarang mengucapkan salam secara spontan ketika bertemu atau berpisah, baik secara verbal atau dengan senyuman, melakukan kontak mata atau gerakan tangan bila bertemu atau berpisah dengan seorang dewasa. Anak-anak dengan autisme kadang-kadang melakukan kontak mata, namun pandangan mata mereka memiliki kualitas yang tidak wajar.

Beberapa anak autisme tampaknya tidak mengenali atau tidak membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Meskipun demikian mereka mengalami ketertarikan dan menciptakan kelekatan kuat dengan berbagai benda-benda mati (kunci, batu, tombol lampu, selimut besar) dan berbagai benda mekanis (lemari es dan alat penyedot debu) jika benda tersebut merupakan sesuatu yang dapat mereka bawa, mereka dapat berjalan kemana-mana dengan membawa benda tersebut ditangan sehingga menghambat mereka untuk belajar berbagai hal lain yang lebih bermanfaat. (Davison, Neale, & Kring, 2006).

B. Karakteristik Autisme

Kriteria gangguan autisme dalam DSM IV-TR :

1. Enam atau lebih dari kriteria pada a, b, dan c di bawah ini, dengan minimal 2 kriteria dari a dan masing-masing dari b dan c.

a. Hendaya dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal 2 dari kriteria berikut :

· Hendaya yang tampak jelas dalam penggunaan perilaku non verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, bahasa tubuh.

· Kelemahan dalam perkembangan hubungan dengan anak-anak sebaya sesuai dengan tahap perkembangan.

· Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain secara spontan.

· Kurangnya ketimbal balikan sosial atau emosional.

b. Hendaya dalam komunikasi seperti terwujud dalam minimal 1 dari kriteria berikut:

· Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa upaya untuk menggantinya dengan gerakan non verbal.

· Pada mereka yang cukup mampu berbicara hendaya yang tampak jelas dalam kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

· Bahasa yang di ulang-ulang atau idiosinkratik.

· Kurangnya bermain sesuai tahap perkembangannya.

c. Perilaku atau minat yang di ulang-ulang atau stereotip, terwujud dalam minimal 1 dari kriteria berikut ini :

· Preokupasi yang tidak normal pada objek atau aktibitas tertentu.

· Keterikatan yang kaku pada ritual tertentu.

· Tingkah laku stereotip.

· Preokupasi yang tidak normal pada bagian tertentu dari suatu objek.

2. Keterlambatan atau keberfungsian abnormal dalam minimal satu dari bidang berikut, berawal sebelum usia 3 tahun : interaksi sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau permainan imajinatif.

3. Gangguan yang tidak dapat dijelaskan sebagai gangguan Rett atau gangguan disintegratif di masa kanak-kanak.

C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Autisme

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan autisme, antara lain :

1. Basis Psikologis

Beberapa alasan yang sama yang mendorong Kanner, meyakini bahwa anak-anak autisme memiliki inteligensi rata-rata. Penampilan mereka yang normal dan fungsi fisiologis yang tampak normal memicu para teoris terdahulu melakukan kesalahan dengan mengabaikan pentingnya faktor-faktor biologis. Orang-orang mungkin secara diam-diam berasumsi bahwa bila faktor-faktor biologis menjadi penyebab gangguan seberat autisme, maka semestinya terdapat berbagai gejala nyata lain, seperti stigma fisik dalam down syndrome. Oleh karena itu, pada awalnya focus diarahkan pada faktor-faktor psikologis, terutama pengaruh-pengaruh keluarga sejak usia sangat dini.

a. Teori Psikoanalisis

Meskipun banyak teori psikoanalisis mengenai penyebab gangguan autisme, yang paling dikenal adalah teori yang dikemukakan oleh Bruno Battleheim (dalam Davison, Neale, & Kring, 2006), yang sangat banyak menangani anak-anak autisme. Asumsi dasarnya adalah autisme sangat mirip dengan apati dan keputus asaan yang dialami oleh para penghuni camp-camp konsentrasi Jerman dalam Perang Dunia II dank arena itu sesuatu yang amat sangat merusak pasti telah terjadi di usia dini. Battleheim (dalam Davison, Neale, & Kring, 2006) berpendapat bahwa balita telah menolak orang tuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Si bayi melihat bahwa tindakannya hanya berdampa kecil pada perilaku orang tua yang tidak responsif. Maka si anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak apapun pada dunia, kemudian menciptakan “benteng kekosongan” autisme untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan.

b. Teori Behavioral

Beberapa teoris perilaku mengemukakan teori bahwa pengalaman belajar tertentu di masa kanak-kanak menyebabkan autisme. Dalam sebuah artikel yang berpengaruh, Ferster (dalam Davison, Neale, & Kring, 2006) berpendapat bahwa tidak adanya perhatian dari orang tua, terutama ibu, mencegah terbentuknya berbagai asosiasi yang menjadikan manusia sebagai penguat sosial. Karena orang tua sendiri tidak pernah menjadi penguat sosial, mereka tidak dapat mengendalikan perilaku si anak dan mengakibatkan terjadinya gangguan autisme.

2. Basis Biologis

Sekumpulan bukti neurologis dan genetik sangat kuat menunjukkan adanya basis biologis dalam gangguan autisme.

a. Faktor-faktor Genetik

Serangkaian studi yang memantau tentang orang kembar dan keluarga yang salah satu anggotanya menderita autisme menunjukkan bahwa autisme terkait secara genetik dengan suatu spektrum kelemahan dalam komunikasi dan bidang-bidang sosial yang lebih luas. Contohnya hampir semua saudara kembar identik non autisme dari orang dewasa yang menderita autisme tidak mampu hidup mandiri atau mempertahankan hubungan yang akrab dan terbuka. Selain itu sebagian besar saudara kembar identik non autisme menunjukkan berbagai kelemhan komunikasi seperti keterlambatan berbicara atau hendaya membaca, serta kelemahan sosial para, termasuk tidak ada kontak sosial selain dengan keluarga, kurang responsif terhadap tanda-tanda dan konvensi sosial, hanya sedikit atau bahkan tidak ada spontanitas afeksi dengan orang-orang yang mengasuhnya. Secara kontras, saudara kembar non identik dari anak-anak autisme hampir selalu normal dalam perkembangan sosial dan bahasa mereka dan menikah serta hidup mandiri diusia dewasa. Bila digabungkan, bukti-bukti dari berbagai studi keluarga dan orang kembar memperkuat basis genetik dalam gangguan autisme.

b. Faktor-faktor Neurologis

Berbagai studi EEG terdahulu terhadap anak-anak autisme mengindikasikan bahwa banyak diantaranya yang memiliki pola gelombang otak abnormal. Berbagai tipe uji neurologis lainnya juga mengungkap adanya tanda-tanda disfungsi otak pada banyak anak-anak autisme. Abnormalitas neurologis pada para individu dengan autisme menunjukkan bahwa dalam masa perkembangan otak mereka, sel-sel otak gagal menyatu dengan benar dan tidak membentuk jaringan koneksi seperti terjadi dalam perkembangan otak secara normal.

Prevalensi autisme pada anak-anak yang ibunya terinfeksi Rubella semasa hamil hampir sepuluh kali lebih besar dibanding pada anak-anak dalam populasi umum, dan kita mengetahui bahwa infeksi virus Rubella pada ibu hamil dapat membahayakan otak janin. Suatu sindrom yang mirip dengan autisme kadang terjadi setelah sembuh dari meningitis, esefalitis, X rapuh, dan tuberus sklerosis, yang semuanya dapat mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat. Berbagai temuan tersebut bersama dengan tingkat retardasi mental yang umum terdapat pada autisme, tampaknya memperkuat keterkaitan antara autisme dan kerusakan otak.

D. Terapi Bermain

1. Pengertian Bermain

Membicarakan anak tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang bermain. Bermain adalah dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang mereka inginkan. Tak diragukan bahwa anak-anak bermain sepanjang waktu yang mereka miliki.

Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, keterampilan komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan sosial, keterampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak. Bermain juga dikatakan sebagai media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal, eksperimen dalam peran orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri. Bermain adalah bentuk ekspresi diri yang paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia. Bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat kompleks dan multi-dimensional, yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan dan perkembangan anak, yang lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan dengan kata-kata.

Studi mengenai bagaimana anak bermain telah mengungkapkan bahwa bermain selama masa kanak-kanak memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dari permainan remaja dan orang dewasa. Walaupun karakteristik ini mungkin sedikit bervariasi pada masing-masing anak, aspek utamanya sangat serupa, sehingga praktis dapat dianggap universal sampai sekarang.

Ketika anak tumbuh dan berkembang, permainan mereka bergerak jauh dari fantasi menuju ke kenyataan. Dengan bertambahnya kemampuan untuk berpikir logis dan dapat menggunakan alasan, merupakan persiapan untuk perkembangan anak dalam tahap “bermain dengan aturan”. Bermain bebas dan spontan merupakan bentuk bermain aktif yang merupakan wadah anak-anak untuk melakukan apa,kapan, dan bagaimana mereka ingin melakukan. Tidak ada kaidah dan peraturan. Anak-anak terus bermain selama kegiatan itu menimbulkan kegembiraan, kemudian berhenti bila perhatiaan dan kegembiraan dari permainan itu berkurang. Dalam permainan yang hanya untuk kesenangan mempunyai aturan yang lebih leluasa, dimana anak sering mengubah atau bahkan melanggar. Tetapi, ketika anak lebih dewasa, aturan menjadi lebih ketat dan kompetensi lebih tajam (Djiwandono, 2005).

2. Permaianan sebagai Terapi

Dalam semua kemungkinan semua terapis pada umumnya setuju bahwa pengalaman terapeutik yang “sukses” untuk anak akan menyebabkan perubahan yang nyata dan berpengaruh pada tingkah laku anak fisik sama seperti psikologi.

Teknik terapi bermain terlibat karena anak-anak belum dapat mengekspresikan diri mereka sendiri secara tepat pada tingkat verbal. Bermain dapat membantu anak dalam perkembangan mereka dan merupakan teknik yang efektif untuk mengontrol lingkungan mereka yang tampaknya memberikan suatu kesempatan untuk bereaksi dengan orang dewasa yang berbeda sikap dengan mereka.

Penggunaan bermain dalam terapi anak dapat diadaptasi menurut orientasi teori yang dianut konselor atau terapi. Dua pendekatan utama terapi bermain adalah psikodinamika dan client centered. Bentuk terapi bermain dikembangkan melalui pekerjaan Anna Freud dan Melanie Klein; kemudian yang paling dekat diidentifikasikan dengan tulisan Virginia Axline. Ada perbedaan dan persamaan antara dua pendekatan ini.

Terapi bermain berkembang secara perlahan dari usaha awal mengadaptasi psikoanalisis untuk menyembuhkan anak. Sesudah ditemukan bahwa anak-anak tidak dapat menggunakan asosiasi bebas untuk menjelaskan kecemasan mereka. Melanie Klein dan Anna Freud menggabungkan kegiatan bermain ke dalam proses terapeutik. Klein menggunakan permainan sebagai suatu kegiatan dalam menganalisis pekerjaan nyata. Klein melihat arti yang tidak disadari dan simbol seksual dalam sebagian besar kegiatan permainan dan ini diinterpretasikan kepada anak. Sebaliknya, Anna Freud tidak percaya bahwa semua permaianan mempunyai arti simbolik dan karena itu dia menggunakan permainan sebagai dasar untuk menginterpretasi.

Alfred Adler adalah ahli teori pertama yang melepaskan diri dari pikiran psikoanalisis tradisional. Adler lebih menempatkan pentingnya sosial dan dinamika antara pribadi dalam perkembangan kepribadian. Walaupun teori Adler diadaptasi oleh anak-anak dan keluarga mereka, tidak ada model untuk terapi bermain yang ada sampai sekarang. Hottman (dalam Djiwandono, 2005) mengadaptasi teori Adlerian dalam proses dan teknik yang digunakan pada anak dalam terapi bermain, dengan menyusun suatu pendekatan perkembangan yang dapat digunakan dalam berbagai setting. Beberapa teknik terapi bermain Adlerian, seperti tracking, restatement of content, reflection of feeling, and encouragement, dapat digunakan dalam terapi bermain, tanpa memandang orientasi teori terapis. Terapis yang bebas dan terstruktur, seperti yang dikembangkan oleh Levy dan Hambridge (dalam Djiwandono, 2005), memperkenalkan atau menciptakan situasi kehidupan yang menghasilkan kecemasan dalam bermain. Model-model ini ada yang kurang menekankan pada hubungan, seperti terapis mempersiapkan dan mengarahkan urutan permainan yang terstruktur, yang mendorong kebebasan emosional melalui katarsis. Terapi bermain client centered berdasarkan pada kepercayaan terapis dalam memperjuangkan anak secara wajar terhadap kesehatan dan pertumbuhan. Virginia Axline (dalam Djiwandono, 2005) memodifikasi pendekatan client centered (berpusat pada klien) Carl Rogers ke dalam suatu teknik terapi bermain. Model pertumbuhan ini tergantung pada kreasi dari kehangatan dan lingkungan terapeutik yang penuh perhatian dan suatu kepercayaan kepada kemampuan anak untuk memecahkan masalahnya sendiri.

Pada tahun 1960-an Bernard dan Louise Guerney mengembangan teknik pembaruan yang dikenal sebagai terapi filial (yang berhubungan dengan anak). Pendekatan terapi bermain client centered ini melibatkan orangtua yang sudah terlatih dalam mengatr pertemuan tiap minggu untuk bermain dengan anak-anak mereka dirumah. Dalam pertemuan bermain antara orang tua dan anak, anak-anak didorong untuk mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran,dan perasaan kepada orang tua mereka melalui terapi bermain. Selama proses orang tua dan anak-anak diharapkan mengubah persepsi mereka satu sama lain. Jika orang tua menjadi lebih toleran dan menerima anak sebagaimana adanya,anak-anak akan tumbuh menjadi orang yang percaya diri dan mempunyai perasaan untuk menghargai diri mereka sendiri.

3. Terapi Bermain

Menurut teori perkembangan anak, yaitu teori kecerdasan jamak atau multiple intelligence dari Gardner menyatakan bahwa seorang anak dalam perkembangan inteligensi yang meliputi inteligensi linguistik (bahasa), kemampuan taktil atau bodily tactile aeareness, interpersonal, intrapersonal, dan berhitung. Dalam hal ini hendaknya orang tua, guru, dan orang-orang yang peduli anak autisme mengupayakan bimbingan ke arah upaya mendapatkan pengalaman-pengalaman nyata yang sesuai dengan keberadaan lingkungan setempat. Jadi, dalam pemberian kesempatan belajar anak autisme diikuti dengan kegiatan bermain.

Kita menyadari bahwa otak anak autisme seharusnya dapat mempelajari pengalaman positif dari lingkungan hidupnya secara aman dengan melibatkan sensoris tubuhnya secara penuh. Oleh karena itu, terapi bermain yang diterapkan kepada anak autisme tertuju pada penekanan-penekanan terhadap hal-hal berikut.

a) Permainan yang cocok.

b) Sensoris motor.

c) Dilakukan dengan gembira dan berfungsi sebagai wahana hubungan kasih sayang di antara keluarga.

d) Mudah dilakukan, bersifat ekonomis, dan mudah dibuat atau diperoleh.

Penekanan terhadap sensori motor untuk terapi bermain dirancang serta diterapkan sesuai dengan sensasi gerak berbentuk informasi dan pesan-pesan sensoris. Pesan-pesan sensoris dari lingkungan kehidupan yang datang ke tubuh anak autisme akan diproses dan diintegrasikan oleh otak melalui sistem saraf pusat (CNS) ke seluruh organ tubuh. Kemudian, menjadi respon berupa gerakan-gerakan yang berarti serta sesuai dengan pikiran dan perasaan.

Bagi anak autisme pesan-pesan informasi sensoris sulit dihubungakan ke sensori motor karena ada kemacetan pada sensori motornya. Dalam ilmu anatomi dan faal tubuh, telah diketahui bahwa semakin banyak otak menerima rangsangan-rangsangan pengalaman sensoris sejak usia dini, maka kelak anak yang bersangkutan semakin mudah mempelajari fungsi-fungsi tubuh dalam memebuhi kehidupan sehari-hari.

Terapi permainan yang diberikan kepada anak autisme harus cocok atau sesuai. Yang dimaksud dengan kecocokan atau appropiate adalah semua kegiatan terapi permainan harus diprogram dan dapat dilaksanakan dengan keberadaan anak autisme. Dengan demikian, tugas-tugas yang diberikan sebagai bentuk kegiatan latihan terapi dapat dilakukan secara aman, meningkatkan kesehatan, dan membantu kepuasan diri anak autisme sesuai dengan harapannya.

Program terapi bermain biasanya diikuti dengan irama gerak yang ritmis sesuai dengan unsur-unsur gerak tubuh berdasarkan persepsi gerak atau perceptual motor therapy. Hal ini dilakukan agar anak autisme dapat melatih keterampilan gerak gross motor, fine motor, visual dan perencanaan gerak atau motor planning.

Terapi bermain memerlukan sebuah kamar bermain dan bahan-bahan untuk bermain. Kamar harus berwarna cerah, menyenangkan dan jika mungkin kedap suara. Dinding dan lantai seharusnya dari bahan-bahan yang mudah di bersihkan dan bahan-bahan yang kuat seperti tanah liat, cat dan palu kayu. Tempat mencuci dengan air dingin atau air panas sebaiknya tersedia. Untuk penelitian dan tujuan pelajaran, kamar terapi dapat dilengkapi dengan tape recording. Kamar terapi juga bisa di lengkapi dengan kaca yang dapat dilihat hanya dari satu sisi dan suara percakapan anak dan terapis dapat didengar dan direkam, observasi dapat dibuat tanpa anak menyadari akan kehadiran observer. Jika observasi dibuat tentu saja syarat-syarat kode etik harus dipenuhi.

Daftar bahan-bahan yang digunakan untuk bermain secara sukses dalam terapi bermain berkembang terus setiap tahun. Klein (dalam Djiwandono, 2005) hanya menggunakan beberapa mainan yang masih primitif yang diletakan dimeja yang rendah. Axline (dalam Djiwandono, 2005) memberikan daftar yang panjang bahan dan mainan apa saja yang bisa digunakan dalam permainan anak-anak. Banyak mainan yang lain telah digunakan dengan sukses. Mungkin bijaksana jika terapis bisa memilih mainan yang begitu banyak bervariasi, sehingga anak bisa menemukan mainan yang cocok dan sebagai medium yang menyenangkan untuk mengungkapkan perasaanya.

Beberapa terapis mempunyai kamar khusus untuk terapi bermain, dan yang lain tdak mempunyai kamar khusus. Membawa barang-barang mainan dalam tas mereka. Terapis yang beruntung yang mempunyai kesempatan untuk merencanakan atau mendekorasi tempat khusus untuk terapi anak. Kamar-kamar ini lengkap dengan meja kursi dan sebagainya, sebagai contoh cara memenuhi kebutuhan anak dan terapis dalam berbagai lingkungan. Siapapun terapisnya mempunyai tujuan yang sama dalam menciptakan suasana terapeutik yang dapat mengubah klien atau anak. Bagian dari suasana ini tergantung pada jenis mainan dan materi-materi yang dipilih.

a. Memilih mainan dan materi mainan

Ketika terapis siap untuk mulai terapi bermain, dia membutuhkan beberapa mainan dan materi mainan untuk memudahkan komunilasi dengan anak. Materi atau bahan mainan harus dipilih atau diseleksi untuk memudahkan terapeutik pada anak. Mainan harus sederhana, memunyai konstruksi yang kuat dan sehat, mudah bagi anak memanipulasi dan diperkuat dengan imajinasi daripada dengan baterai. Pilih mainan yang mengarah pada stimulasi kognisi, motorik, sosial dan bahasa. Buku dari kain atau plastik, misalnya, bisa merangsang perkembangan bahasa karena ada gambar dan hurufnya. Anak juga bisa mengenal bentuk, warna, tekstur, bahkan bunyi. Rangsangan ini akan membuat sambungan-sambungan listrik di otak membentuk susunan syaraf mirip pohon yang rimbun. “semakin banyak memperoleh stimulus, semakin rimbun susunan syarafnya, dan kian cerdas pula si anak”. Manfaat yang maksimal ini bisa diperoleh jika orang tua mendampingi anak saat dia bermain.

Ginott (dalam Djiwandono, 2005) salah satu ahli klinis pertama mengembangkan secara rasional dalam memilih mainan, percaya bahwa mainan harus :

a) Memudahkan dalam mengembangkan kontak dengan anak.

b) Membangkitkan dan mendorong katarsis.

c) Membantu mengembangkan insight

d) Melengkapi dalam mengetes realita

e) Sebagai media untuk terjadinya perubahan.

Landreth (dalam Djiwandono, 2005) memilih mainan secara komprehensif dan yang paling rasional, menetukan materi permainan yang memudahkan anak mengekspresikan secara kreatif dan emosional, menstimulasi minat anak dan membiarkan anak mengeksplorasi dan mengekspresikan diri dalam kegiatan yang tida terstruktur.

b. Mainan untuk memudahkan ekspresi

“Mainan adalah kata-kata anak-anak dan bermain adalah bahasa mereka”. Oleh karena itu terapis, harus memberikan mainan yang dapat memudahkan anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam rentangan yang luas. Menurut Ginott (dalam Djiwandono, 2005) suatu ide yang baik untuk memberikan mainan dimana anak-anak tidak biasa dibiarkan bermain dirumah. Adanya mainan-mainan ini menyatakan suatu sikap yang permisif dan membantu terapis mengerti dunia inner anak.

c. Mainan mendorong kreativitas

Beberapa mainan, sudah menjadi sifat dasarnya mendorong kreativitas. Sebuah kotak yang sudah tua dipojok dapat menjadi rumah boneka jika rumah boneka tidak tersedia. Dalam memilihmainan, terapis ingin menyimpan dalam pikirannya barang-barang yang sederhana, yang kadang-kadang dapat membangkitkan imajinasi.

d. Mainan dapat menyalurkan emosi

Anak dapat menggunakan pasir, air, cat dan tanah liat untuk menyalurkan perasaannya yang kuat dimana mereka tidak berani mengkomunikasikan lebih terbuka. Anak dibiarkan untuk mengubah identitas bahan-bahan atau materi mainan dalam khayalan mereka dalam menciptakan sesuatu yang kreatif. Untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tanah liat, pasir dan cat dapat dijadikan untuk “menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin dinyatakan dan dilakukan karena memalukan”. Anak memerlukan tempat yang aman dalam mengeksplorasi dan menyalurkan perasaan, seperti dalam permainan pasir dan air dapat membuat tenang, rileks, dan bahagia pada beberapa anak.

e. Mainan dapat mengekspresikan sifat agresif.

Mainan senjata, pisau karet, pedang plastik, perisai dari kayu, palu dan catut menggambarkan kepada anak-anak suatu arti yang mengekspresikan permusuhan dan agresif. Menembak, menusuk, memukul dan meninju dengan keras adalah ekspresif simbolik dari kemarahan dan jika anak diberikan kebebasan bermain mungkin akan memberikan Terapeutik Katarsik dan kesempatan untuk mengumpulkan energi.

f. Bermain dikontrol versus bermain bebas

Ada perbedaan pendapat apakah bermain seharusnya dikontrol atau bebas. Levy (dalam Djiwandono, 2005) merasa bahwa mengontrol mainan dengan menyeleksi mainan-mainan tertentu, dapat digunakan untuk memecahkan konflik-konfliknya.

Axline dan Mousetakas (dalam Djiwandono, 2005) berpegang pada anak boleh memilih secara bebas permainan yang mereka sukai. Mereka mengatur kamar bermain dengan cara-cara sama untuk semua anak, dengan semua alat-alat yang tersedia yang dapat digunakan oleh anak-anak secara bebas. Memilih materi mainan secara spontan mengurangi kepalsuan, anak memilih medianya sendiri dan melanjutkan sesuai dengan kecepatannya. Terapis bahkan tidak boleh tahu masalah yang dihadapi oleh anak. Bermain bebas dan bermain dikontrol, kelihatannya mempunyai keunggulan dalam membantu anak memecahkan masalahnya.

4. Efektifitas Terapi Bermain

Dengan melakukan latihan-latihan yang dibimbing oleh para ahli terapi tersebut anak autisme dapat melakukan gerak dan memahami semua informasi yang datang melalui otaknya dengan cara bermain yang bersifat menggembirakan, bermakna dan dilakukan secara ilmiah. Hal ini dimaksudkan agar usaha yang dilakukan terapis dapat meningkatkan respon-respon adaptif yang rumit. Penekanan bentuk terapi semacam ini untuk peningkatan keberfungsian hubungan mesra antara anak dengan anggota keluarga. Permainannya dapat meningkatkan kemapuan dasar untuk bergerak bersamaan dengan penggunaan daya pandang. Hal penting lainnya, bahwa kegiatan terapi ini hendaknya dapat diterapkan dengan mudah, sesuai dengan keperluan, memenuhi persyaratan ekonomis, ramah lingkungan, dan sesuai dengan hasrat hati anak autisme. Terapi bermain, seperti bermain dengan alat sederhana dapat membantu orangtua untuk berinteraksi secara aktif dengan anak autisme. Terapi bermain meningkatkan kemampuan anak untuk bersosialisasi, berkomunikasi, gerak dan kognisi, imajinasi, sensori dan integrasi.

E. Hasil Analisis Penulis

Peneliti menyadari bahwa autisme tidak ada obatnya, akan tetapi dengan diagnosis dan intervensi yang lebih awal, peningkatan yang terkadang substansial dapat terjadi. Autisme merupakan gangguan yang ditandai dengan keterlambatan dan gangguan yang parah pada beberapa area perkembangan, seperti pada interaksi sosial, komunikasi dengan orang lain, perilaku bermain, aktivitas sosial, dan minat sehari-hari. Terapi bermain merupakan salah satu terapi yang cocok digunakan untuk mengurangi gejala pada anak penyandang autisme dari sekian banyak terapi yang dapat diberikan kepada penyandang autis. Dengan terapi bermain, anak dilatih ketrampilan gerak gross motor, fine motor, visual dan perencanaan gerak atau motor planning. Yang perlu kita ingat, yaitu kegiatan terapi sebaiknya dilakukan dengan gembira dan berguna untuk melakukan jalinan hubungan kasih sayang diantara keluarga anak autisme. Sehingga interaksi sosial anak autisme pun dapat meningkat.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan jenis studi kasus. Menurut Basuki (2006), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Penelitia menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi variabel yang dilibatkan.

Peneliti menggunakan bentuk penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan dan menganalisa mengenai, “Terapi Bermain pada Anak Penyandang Autisme”. Berdasarkan teori studi kasus, peneliti menggunakan tipe studi kasus intrinsik. Alasan peneliti menggunakan tipe ini adalah karena kasus yang dipelajari secara mendalam mengandung hal-hal yang menarik untuk dipelajari berasal dari kasus ini sendiri, sehingga peneliti mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari kasus yang khusus, hal ini disebabkan karena seluruh kekhususan dan keluarbiasaan kasus ini sendiri yang menarik perhatian.

B. Subjek Penelitian

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Salah satu karakteristik dan kekuatan utama dari studi kasus adalah dimanfaatkannya berbagai sumber dan teknik pengumpulan data. Dengan demikian pemilihan subjek dalam penelitian ini bersifat bertujuan (purposive). Oleh karena itu yang dijadikan sebagai subjek penelitian (informan) adalah mereka yang dianggap dapat memberikan informasi yang memadai berkaitan dengan pertanyaan penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini adalah anak penyandang autisme yang sedang menjalani terapi bermain minimal 3 tahun.

2. Jumlah Sampel

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) tidak ada aturan yang baku mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitan kualitatif, jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang di ketahui peneliti, tujuan penelitian konteks.

Poerwandari (1998) menyatakan bahwa dikarenakan fokus utama penelitian adalah pada kedalaman proses, maka penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus yang sedikit.

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dalam penelitian kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan untuk mengambil subjek sebanyak satu orang agar dapat memperoleh gambaran menyeluruh mengenai subjek.

  1. Tahap – tahap Penelitian

Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, yaitu :

1. Tahap Persiapan

Membuat pedoman wawancara dan observasi yang disesuaikan dengan tujuan penelitian dan didasari oleh teori – teori yang berkaitan dengan fenomena yang dibahas. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan esensial yang terlebih dahulu dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Pedoman observasi berisi aspek-aspek yang menjadi acuan dalam mengamati perilaku subjek dan telah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Setelah pedoman wawancara dan observasi direvisi, peneliti mempersiapkan diri untuk melakukan pertemuan dengan subjek dan terlebih dahulu menentukan waktu dan tempat wawancara dengan persetujuan subjek. Sedangkan observasi dilakukan satu hari setelah wawancara secara terbuka.

2. Tahap Pelaksanaan

Melaksanakan wawancara dengan subjek berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat pada waktu dan tempat yang telah disepakati antara subjek dan peneliti. Setelah melakukan wawancara, selanjutnya peneliti memindahkan hasil rekaman wawancara ke dalam bentuk transkip verbatim tertulis, kemudian diolah bersama dengan hasil observasi dalam sebuah interpretasi kasus serta membuat kesimpulan dari interpretasi tersebut. Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat, peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian berikutnya mengenai tema yang sama.

3. Tahap Analisis

Setelah melakukan wawancara peneliti memindahkan hasil rekaman wawancara kedalam bentuk tulisan. Peneliti membuat gambar dan analisis tiap-tiap kasus berdasarkan teori-teori yang dijelaskan pada bab II, kemudian peneliti menganalisis antara kasus dengan membuat perbandingan hasil analisis dari semua subjek penelitian berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti membuat kesimpulan untuk mengetahui hasil akhir dan mengajukan saran untuk peneitian selanjutnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Wawancara

a. Definisi wawancara

Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bersemuka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian, kepada seseorang yang diwawancara atau responden (Kerlinger, 2006).

Wawancara adalah percakapan dengan maksut tertentu yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewi) yang memeberikan jawaban atas pertanyaan (Moelong, 2000)

Menurut Basuki (2006), wawancara adalah suatu kegiatan Tanya jawab dengan tatap muka antara pewawancara dengan yang diwawancarai tentang masalah yang diteliti, dimana yang diwawancarai bermaksud memperoleh persepsi, sikap dan pola piir dari yang diwawancarai yang relevan dengan masalah yang diteliti. Oleh karena wawancara itu dirancang pewawancara, maka hasilnya pun dipengaruhi oleh karakteristik pribadi pewawancara.

b. Jenis-jenis wawancara

Moleong (2000), mengatakan dua jenis wawancara secara garis besar, yaitu :

1) Wawancara berstruktur

Wawancara berstruktur (structure interview) adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri pertanyaan dan alternatif jawaban yang diberikan kepada subjek telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pewawancara.

2) Wawancara tidak berstruktur

Wawancara tidak berstruktur lebih bersifat, informal. Pertanyaan-pertanyaan tentang pandangan, sikap, keyakinan subjek dapat diajukan secara bebas oleh subjek. Wawancara seperti ini tampak luas dan biasanya direncanakan agar sesuai dengan subjek dan suasana pada waktu wawancara dilakukan subjek diberi kebebasan dalam mengurai jawabannya.

Patton (dalam Moleong, 2000) yang mengatakan tiga jenis wawancara , yaitu :

1) Wawancara pembicaraan informal, dalam wawancara ini tergantung pada spontanitas dalam mengajukan pertanyaan kepada yang di wawancarai. Wawancara ini dilakukan pada latar alamiah dalam suasana yang wajar dan biasa.

2) Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, dalam wawancara ini pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang akan ditanyakan dalam proses wawancara.

3) Wawancara baku terbuka, dalam wawancara ini pewawancara menggunakan seperangkat pertanyaan yang baku. Urutan pertanyaan, kata-katanya, dan cara penyajiannyapun harus sama pada setiap responden.

Dalam proses pengambilan data, peneliti menggunakan wawancara berstruktur. Wawancara berstruktur (structure interview) adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri pertanyaan dan alternatif jawaban yang diberikan kepada subjek telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pewawancara.

2. Observasi

a. Definisi observasi

Poerwandari (2001), menyatakan observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Observasi yang dilakukan adalah observasi terhadap subjek, dimana peneliti memperhatikan dan mencatat tingkah laku subjek selama wawancara, interaksi dengan peneliti dan hal lain yang dianggap releven sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara.

b. Jenis-jenis observasi

Poerwandari (2001), mengemukakan beberapa jenis observasi sebagai berikut :

1) Pengamatan melalui cara berperan serta (partisipan), dimana dalam penelitian ini peneliti mempunyai dua fungsi sekaligus artinya dapat mudah langsung mengamati fenomena yang ada dan masuk kedalam kelompok subjek yang diteliti.

2) Pengamatan tanpa berperan serta (non partisipan), dimana penelitian ini peneliti hanya mempunyai satu fungsi yaitu peneliti dapat mengamati dan data secara langsung tentang subjek.

Pada penelitian ini, peneliti bermaksud menggunakan jenis observasi non partisipan, karena dalam penelitian ini peneliti hanya bertugas sebagai peneliti dan dapat mengamati data secara langsung tentang subjek.

  1. Alat Bantu Pengumpulan Data

  1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berisi daftar pertanyaan yang harus diajukan dalam penelitian ini pertanyaan-pertanyaan diajukan secara bertahap sehingga tidak keseluruhan pertanyaan diajukan dalam sekali pertemuan. Penyusunan pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan teori-teori yang digunakan oleh peneliti sebagai kerangka berpikir dalam penelitian ini.

  1. Alat Perekam

Penggunaan alat perekam sangatlah penting karena peneliti tidak mungkin dapat mengingat dengan tepat jawaban-jawaban yang diberikan oleh subjek. Alat perekam digunakan setelah mendapat ijin dari subjek yang bersangkutan.

  1. Lembar Observasi

Lembar Observasi berisi data diri subjek, tempat dan waktu wawancara, kejadian menarik saat wawancara, sikap subjek dan keadaan lingkungan sekitar.

  1. Alat Tulis

Alat tulis berguna sebagai alat bantu untuk melihat dan mencatat perilaku subjek pada saat wawancara berlangsung.

F. Trianggulasi

Untuk mengetrahui keakuratan dari penelitian ini harus menggunakan cara trianggulasi. Menurut Moeleong (2004), trianggulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu.

Patton (dalam Poerwandari, 1998) mengemukakan empat macam trianggulasi sebagai berikut:

1. Trianggulasi Teori

Penggunaan teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori teleh dijelaskan mengenai autisme dan terapi bermain untuk digunakan dan menguji terkumpulnya data tersebut.

2. Trianggulasi Metode

Perbandingan beberapa metode untuk meneliti suatu hal seperti wawancara dan metode observasi. Pada penelitian ini hanya digunakan dua metode, yaitu wawancara dan observasi.

3. Trianggulasi Data

Menggunakan variasi-variasi sumber yang berbeda seperti menggunakan berbagai macam data yang ada, diantaranya melalui observasi dan interview atau wawancara yang lebih dari sekali dengan subjek dan juga menggunakan keterangan dari significant others. Significant others dalam penelitian ini adalah orangtua dengan terapis bermain.

4. Trianggulasi Pengamat

Adanya pengamat diluar peneliti yang turut menerima memeriksa hasil pengumpulan data.

G. Teknik Analisis Data

Langkah-langkah yang digunakan untuk mengolah dan menginterpretasikan data menurut Poerwandari (2001) adalah:

1. Mengorganisasikan data dari tiap-tiap subjek dengan rapi, sistematik, dan selengkap mungkin.

2. Memberikan kode-kode (coding) pada materi yang diperoleh. Coding yang dimaksud untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasikan data secara lengkap dan mendetil sehingga dapat memunculkan gambar-gambar tentang topik yang dipelajari.

3. Menginterpretasikan data yaitu data secara lebih ekstensi sekaligus mendalam saat menginterpretasikan data melalui perspektif tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Heru. (2006). Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Budaya. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Davison, Gerald C., Neale, John M., & Kring, Ann M. (2006). Psikologi Abnormal edisi kesembilan. Jakarta: PT Raja Garfindo Persada.

Delphie, Bandi. (2009). Pendidikan Anak Autistik. Sleman: PT. Intan Sejati Klaten.

Djiwandono, S.E.W. (2005). Konseling dan Terapi dengan Anak dan Orang Tua. Jakarta: Grasindo.

Kerlinger, F.N. (2006). Asas-asas Penelitian Behavioral Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Moleong, L. J. (2000). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Moleong, L. J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Nuryanti, Lusi. (2008). Psikologi Anak. Klaten: PT. INDEKS.

Papalia Diane. E, Diana Gross, Ruth Duskin Feldman. (2007). Human Development tenth edition. New York : Mc Graw Hill.

Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar