Jumat, 08 April 2011

Laporan Ilmiah

Laporan Observasi Psikologi Klinis

Keterlambatan Bicara

Disusun oleh :

Nama : Febrina Nur Sulistiyawati

NPM : 10508078

Kelas : 3PA06

Mata Kuliah : Psikologi Klinis



Fakultas Psikologi

Universitas Gunadarma

2010

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam laporan observasi ini, kami mengambil tema tentang keterlambatan bicara.

Laporan observasi ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang mata kuliah psikologi klinis sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Psikologi Klinis”. Dalam menyelesaikan makalah ini, tentunya saya mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan :

  • Ibu Henny Regian S, selaku dosen mata kuliah “Psikologi Klinis”
  • Pengurus dan terapis Fisioterapi Wisma Bakti yang telah memberikan izin kepada kami untuk mengobservasi salah satu pasiennya.
  • Orangtua subyek yang telah membantu dalam memberikan informasi dalam membuat anamnase.
  • Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk laporan ini.
  • Orang tua kami dan seluruh orang yang telah mendukung untuk penyelesaian laporan ini.

Saya juga memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terjadi kesalahan dalam penulisan laporan ini. Saya menyadari bahwa laporan ini belum sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun akan saya terima untuk penyempurnaan laporan ini. Demikian laporan ini saya buat semoga bermanfaat,

Bekasi, 24 Oktober 2010

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii

A. Identitas .............................................................................................................. 1

B. Tanggal & Prosedur Pengumpulan Data................................................................ 1

C. Masalah yang Dihadapi........................................................................................ 1

D. Latar Belakang......................................................................................................4

E. Observasi ............................................................................................................ 5

F Hasil Pengumpulan data ....................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

A. IDENTITAS

1. Nama/inisial : L A T

2. Umur : 5 tahun

3. Alamat : Bekasi

B. TANGGAL & PROSEDUR PENGUMPUL DATA

Prosedur Pengumpulan Data : Observasi dan wawancara

Waktu dan Tempat Observasi : Pukul 10.00 – 10.30 WIB, tanggal 10 Oktober 2010 di Fisioterapi Wisma Bakti, Bekasi.

Pukul 09.00 – 10.00 WIB, tanggal 17 Oktober 2010 di Fisioterapi Wisma Bakti, Bekasi.

Pukul 09.30 – 12.00 WIB, tanggal 19 Oktober 2010 di rumah subyek, Bekasi.

Pukul 09.00 – 10.00 WIB, tanggal 22 Oktober 2010 di Fisioterapi Wisma Bakti, Bekasi.

Waktu dan tempat Wawancara : Pukul 09.15 – 11.00 WIB, tanggal 10 Oktober 2010 di Fisioterapi Wisma Bakti, Bekasi.

Pukul 10.00 – 10.30 WIB, tanggal 17 Oktober 2010 di Fisioterapi Wisma Bakti, Bekasi.

Pukul 09.30 – 12.00 WIB, tanggal 19 Oktober 2010 di rumah subyek, Bekasi.

Pukul 10.00 – 11.00 WIB, tanggal 22 Oktober 2010 di Fisioterapi Wisma Bakti, Bekasi.

C. MASALAH YANG DIHADAPI

Menurut diagnosa dokter anak, dokter THT, dan psikolog, subyek mengalami keterlambatan bicara dan di sarankan untuk mengikuti terapi wicara dan dimasukkan ke dalam playgroup. Pernah pula satu kali, orang tua subyek memeriksakan anaknya ke dokter syaraf, namun dokter syaraf mendiagnosa bahwa subyek bisu, tetapi orangtua tidak sepaham dengan diagnosa dokter syaraf tersebut karena sebelumnya pada usia 2 tahun sudah dapat mengoceh walaupun tidak ada kosakata yang jelas. Ibu subyek telah mencoba ke beberapa tempat untuk mengikuti terapi wicara, seperti di RS. Bella, RS. Hermina dan klinik autis. Namun terapi tidak tuntas karena sang anak dan orangtua merasa kurang cocok di tempat-tempat sebelumnya. Sampai akhirnya oarng tua subyek mencoba membawa anaknya ke Fisioterapi Wisma Bakti yang menerima masalah tumbuh kembang anak. Di tempat fisioterapi ini awalnya subyek hanya mengikuti terapi wicara namun setelah hasil observasi terapis wicara ternyata subyek di rujuk untuk mengikuti terapi okupasi dengan metode sensori integrasi karena subjek masih tidak dapat berkonsentrasi dan melatih kemampuan motoriknya. Menurut para terapis yang menangani subyek mengatakan kalau anak ini tidak terlambat bicara murni tetapi disertai masalah yang lain. Terapis wicara mendiagnosis bahwa anak ini mengalami terlambat bicara dalam kategori MR (mental retardasi) ringan karena untuk anak seusia 5 tahun, anak ini masih belum mempunyai pemahaman sederhana seperti pemahaman bentuk warna, gambar maupun bentuk-bentuk. Sedangkan menurut terapis okuposi mangatakan bahwa anak ini mengalami terlambat bicara yang disertai ADD (attention deficit disorder) karena memiliki atensi dan konsentrasi yang rendah namun disertai kemampuan motorik yang belum berkembang secara optimal.

D. LATAR BELAKANG MASALAH

Anak merupakan anugerah terindah dan titipan Tuhan yang paling berharga. Tidak semua manusia dilahirkan dengan kondisi fisik yang sempurna. Sebagian manusia lahir dengan membawa kelainan yang dapat disebabkan oleh kurangnya asupan gizi pada saat di dalam kandungan, penyakit, keracunan atau sebab-sebab lain. Adapula anak yang terlahir dalam kondisi fisik yang normal tetapi memiliki masalah dengan tumbuh kembang. Salah satu ,alah tumbuh kembang anak yang terjadi adalah terlambat bicara.

Bahasa merupakan salah satu parameter dalam perkembangan anak. Kemahiran dalam bahasa dan berbicara dipengaruhi oleh faktor intrinsik (dari anak) dan faktor ekstrinsik (dari lingkungan). Faktor intrinsik yaitu kondisi pembawaan sejak lahir termasuk fisiologi dari organ yang terlibat dalam kemampuan bahasa dan berbicara. Sementara itu faktor ekstrinsik berupa stimulus yang ada di sekeliling anak terutama perkataan yang didengar atau ditujukan kepada si anak. Gangguan bahasa dan berbicara adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara adalah keluhan utama yang sering dicemaskan dan dikeluhkan orang tua kepada dokter. Gangguan ini semakin hari tampak semakin meningkat pesat. Dari penelitian didapatkan bahwa gangguan bahasa dan berbicara terjadi 1% sampai 32% dari populasi normal dan sebanyak 60% dari kasus yang ditemukan terjadi secara spontan pada anak berumur dibawah 3 tahun (http:/dokteranakku.com).

Ada perbedaan antara bicara dan bahasa. Bicara adalah pengucapan, yang menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara dalam suatu kata. Bahasa berarti menyatakan dan menerima informasi dalam suatu cara tertentu.

Gangguan bicara dan bahasa dialami oleh 8% anak usia pra sekolah. Hampir sebanyak 20% dari anak berumur 2 tahun mempunyai gangguan keterlambatan bicara. Keterlambatan bicara paling sering terjadi pada usia 316 tahun. Pada umur 5 tahun, 19% dari anakanak diidentifikasi memiliki gangguan bicara dan bahasa (6,4% kelemahan berbicara, 4,6% kelemahan bicara dan bahasa, dan 6% kelemahan bahasa) (http:/dokteranakku.com).

Terdapat satu kelompok diskusi anakberbakat@yahoo.com sejak berdiri 2001, yang menerima lebih dari 500 anggota yang umumnya merupakan orangtua dari anak-anak cerdas yang terlambat bicara dengan diagnosa yang berganti-ganti dari satu pendiagnosa ke pendiagnosa lain (http:/gifted-disinkroni.com/gifted-terlambat-bicara-VS-autisme-dan-atau-ADHD.pdf). Umumnya diagnosa yang diterima adalah saat anak-anak ini belum bicara menerima diagnosa ASD, dan saat sudah dapar berbicara mendapatkan doagnosa ADHD, dan saat sudah dapat bersekolah dengan prestasi baik mendapatkan diagnosa autisme asperger. Jika tidak berprestasi dari ADHD menjadi ADD atau dapat juga terdiagnosa Learning Disabilities, bahkan beberapa diantaranya menerima diagnosa brain injury dan mental retardasi (MR). Hingga saat ini, diagnosa kekhususan hanyalah menggunakan sistem penegakan diagnosa yang subyektif yaitu dengan menggunakan penilaian terhadap perilaku, misalnya pada autisme, ADHD dan ADD. Masalah yang dihadapi anak-anak ini adalah bahwa hingga saat ini di Indonesia belum ada protokol pendeteksian, pendiagnosisan, dan penanganan anak-anak ini. Pada akhirnya anak-anak ini tidak mendapatkan penanganan dan pendidikan sebagaimana yang dibutuhkan. Akhir-akhir ini ada kecenderungan memberikan terapi yang sama untuk segala kekhususan yaitu terapi okupasi atau terapi sistem integrasi, karena munculnya pemahaman di lapangan bahwa masalah anak-anak kekhususan disebabkan karena masalah pada sensoriknya.

Umumnya orangtua dalam mailinglist anakberbakat@yahoo.com melaporkan anak-anaknya pada awalnya sudah mulai bicara beberapa kata, namun bersamaan dengan perkembangan motorik kasar dan eksplorasinya (disekitar usia 18 bulan) anak mengalami kemunduran prestasi. Ia semakin menyendiri, asyik dengan mainannya, tidak merespon dan semakin sulit diajari. Sekalipun anak-anak ini tidak mampu berbicara namun ia masih dapat menangkap perintah-perintah yang diberikan orangtuanya. Kebingungan yang sering disampaikan orangtua adalah si anak tidak merespon jika dipanggil (jikapun merespon hanya merespon sekilas saja), terutama saat ia asyik bermain. Ia akan mulai bicara lagi di usianya yang ke tiga. Anak-anak yang kini sudah muali remaja, pada kenyataannya mempunyai IQ yang luar biasa tinggi dan mempunyai prestasi yang baik di sekolah.

Goorhuis dan Schaerlakensnadalah dua orang profesor ahli THT dalam kekhususan audiologi dari Belanda, menyebutkan juga sebagai gangguan bicara dan bahasa spesifil (specific language impairment atau SLI). Dalam hal ini gangguan bicara dan bahasa yang terjadi adalah merupakan gangguan primer yang artinya murni karena perkembangannya. Dalam hal ini gangguan akan hanya mengenai pada produksi bahasa (ekspresif), tidak ada penerimaan bahasa (reseptif), kadang juga diikuti dengan gangguan pemahaman bahasa. Mekanismenya tidak diketahui dengan jelas, namun dikatakan bahwa penyebabnya adalah genetik. Si anak bukan merupakan anak yang mengalami retardasi mental, bukan anak yang mengalami gangguan sosial dan perilaku, pendengarannya baik, dan tidak ada gangguan pada penerimaan bahasa (tidak ada gangguan reseptif). Dalam pemeriksaan neurologis juga tidak menunjukkan adanya gangguan atau cacat neurologik, juga tidak ada masalah psikiatrik.dengan kata lain ia merupakan anak yang tidak boleh diberi diagnosa apa-apa (http:/gifted-disinkroni.com).

Gangguan lain yang sering menyertai sebagai komorbiditas adalah gangguan motorik dan konsentrasi. Gangguan ini seringkali juga bukan merupakan keterlambatan kematangan, namun seringkali juga mengikutinya hingga ia dewasa dan tua, yang artinya merupakan gangguan (kecacatan) neurologis. Komorbiditas inilah menambah parahnya masalah gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekspresif.

Sebenarnya Nyiokiktjien sudah melakukan penelitiannya sejak lama lebih dari 20 tahun lalu, namun hingga saat ini masalah anak dengan keterlambatan bicara yang disebabkan karena perkembangannya sendiri itu, masih saja kurang dipahami, yang disebabkan karena memang kurang banyak penelitian yang dalam pada kelompok ini kurang dianggap mendesak dan ia mempunyai prognosa yang baik. Karenanya dianggap kurang mendesak jika dibandingkan dengan masalah gangguan lain yang lebih parah (http:/gifted-disinkroni.com).

Dalam DSM IV kita akan menemukan kelompok ini dengan istilah Gangguan bicara dan bahasa ekspresif. Gangguan hanya mengenai kemampuan ekspresif yaitu mengemukakan pikiran dalam bentuk ekspresi bahasa. Sementara itu reseptifnya lebih baik, namun kadang kita juga menemukan anak-anak ini mengalami kesulitan reseptif terutama dalam bentuk perintah yang lebih dari satu.

E. OBSERVASI

1. Tanggal 10 Oktober 2010 di Fisioterapi Wisma Bakti, Bekasi

1) Tingkah Laku

Pada observasi pertama, observer menjumpai subyek setelah selesai terapi okupasi. Selama observer mengadakan pendekatan dengan subyek, subek hanya tersenyum dan tanpa ada sepatah kata pun yang terucap setiap observer mengajaknya bicara. Ketika observer berbicara dengan subyek pun, observer harus mendapatkan kontak mata dengan subyek yang mudah teralihkan setiap ada stimulus lain yang datang. Subyek beberapa kali mau diajak duduk bersama di kursi walaupun beberapa kali subyek bangun dari duduknya, mendekati televisi dan berjalan ke depan pintu keluar.

2) Penampilan

Subyek mengenakan bahu berwarna putih dan celana panjang. Subyek membawa tas berwarna merah untuk membawa buku yang dipergunakan untuk mencatat perkembangan subyek yang diisi oleh terapis. Subyek memakai sandal berwarna merah muda milik kakak perempuannya.

3) Lingkungan Sekitar

Setting observasi berada di Fisioterapi Wisma Bakti dalam ruangan ruang tunggu. Ruang tunggu ini persis berada di depan ruang sensori integrasi. Ruang tunggu ini berisikan tempat duduk panjang yang terbuat dari kayu, 2 buah tempat duduk kecil dari plastik, rak majalah, televisi 14 inci dan kulkas yang menjual minuman-minuman.

2. Tanggal 17 Oktober 2010 di Fisioterapi Wisma Bakti, Bekasi

1) Tingkah Laku

Observer mengamati subjek ketika sedang mengikuti terapi sensori integerasi. Dalam terapi kali ini subjek memainkan 9 permainan selama satu jam.

1. Mengerjakan puzzle angka.

Subjek sulit memusatkan perhatian, cepat berahli setiap stimulus yang baru datang sehingga beberapa kali terapis mengalihkan perhatian subjek kembali dengan mengarahkan kepalanya hingga membuat kontak mata kembali. Masalah lainnya adalah subjek masih belum hafal angka-angka.

2. Melengkapi puzzle pakaian.

Dalam permainan kali ini subjek harus melalui berbagai tahap seperti subyek awalnya harus naik ke atas tangga perosotan untuk mengambil potongan puzzle lalu turun dari perosotan dan barulah subyek melengkapi puzzlenya. Dalam permainan kali ini subyek mengalami kesulitan ketika merosot dan belum hafal/belum dapat membedakan antara bagian-bagian puzzle seperti membedakan baju, celana, topi maupun sepatu.

3. Duduk di balon karet yang berukuran besar.

Ketika terapis menyuruh subjek untuk duduk diatas balon karet, subjek tidak mau mengikuti perintah terapis. Subjek sempat satu kali mengatakan,”gag mau”. Oleh karena itu terapis mengajaknya untuk duduk dahulu namun subjek tidak mengerti ketika disuruh untuk melipat kaki dan tepuk tangan. Ketika subjek sudah cukup dapat dikendalikan oleh terapis subjek akhirnya mau duduk diatas balon karet berukuran besar dan diguncang-guncang oleh terapis. Namun ketika disuruh berbaring diatas bola subjek kembali tidak mau melakukannya.

4. Melengkapi puzzle pakaian dengan merangkak

Subyek mengambil potongan puzzle dan harus merangkak untuk melengkapi puzzlenya sampai puzzle tersusun rapi. Kesulitan yang di hadapi subyek masih lah sama, yaitu subyek belum dapat membedakan setiap bagian puzzle tersebut.

5. Merangkak di atas balon karet sambil melengkapi puzzle

Awalnya subyek diperintahkan duduk di atas bola, lalu subyek diperintah untuk tiduran dalam posisi tengkurap di atas bola. Setelah berhasil tengkurap lalu subyek diminta mengambil puzzle dan melengkapi puzzle yang jaraknya sekitar 1 meter dengan merangkak di atas bola. Kesulitan subyek dalam permainan ini adalah ketika subyek diminta untuk tiduran di atas bola dan subyek masih kesulitan dalam melengkapi puzzle.

6. Tangkap bola

Subyek di perintah untuk menangkap dan melempar bola dengan kedua tangannya oleh terapis yang berjarak sekitar 2 meter. Subyek mengalami banyak kesulitan dalam permainan tangkap bola seperti sulit diperintah untuk berdiri tegap, sulit menangkap bola yang di lempar, sulit melempar bola dengan kedua tangan dan berkali-kali perhatiannya teralihkan oleh seorang temannya yang juga sedang terapi maupun teralihkan oleh barang-barang yang ada di dalam ruangan.

7. Merangkak dan mengambil bola

Dalam permainan kali ini subyek cukup bagus melaksanakan tugasnya meskipun beberapa kali ia terdiam dan menyandarkan tubuhnya ke tarapis.

8. Berjalan di atas balok antara kursi lalu naik ke tangga perosotan untuk mengambil mainan tabung lalu turun meluncur dari perosotan dan menyusun mainan tersebut. Setelah 5 kali putaran, arah permaianan di balik sehingga subyek harus naik dari perosotan untuk mengambil mainan lalu turun tangga perosotan dan menyeberangi balok di antara kursi. Dalam permainan ini subyek terlihat masih belum mempunyai keseimbangan yang optimal ketika subyek harus menyeberangi balok di antara kursi dan subyek tidak bisa meloncat dari atas kursi.

9. Permaianan terakhir adalah puzzle bangun ruang yang di masukkan ke dalam tabung. Permainan ini di pilih sendiri oleh subyek ketika terapis sedang mengisikan buku catatan perkembangan terapi subyek. Dalam permainan kali ini subyek masih sulit membedakan setiap bangun ruang.

2) Penampilan

Subyek mengenakan kaos berwarna merah dengan celana panjang jeans. Subyek masih menggunakan sandal berwana merah mudan dan membawa tas ransel berwarna merah.

3) Lingkungan Sekitar

Setting observasi berada di Fisioterapi Wisma Bakti dalam ruangan sensori integrasi. Ruangan tersebut berisikan mainan-mainan yang mendukung perkembangan terapi seperti perosotan bertangga, hemo (ayunan kain), lemari plastik, 2 buah bola karet besar, 2 buah bola karet kecil, kaca, jam, 2 buah balok panjang, kasur lipat, kartu-kartu bergambar, puzzle-puzzle, dan masih ada beberapa permainan lain yang disimpan di bawah perosotan dan lemari plastik. Alas lantai pada ruangan ini dilapisi matras berwarna hijau muda, setengah dinding dilapisi matras berwana hitam dan setengah dinding lagi dicat berwarna krem dan hijau muda. Ruangan ini berbentuk persegi panjang yang mempunyai 4 sisi, yaitu 3 sisi dinding bercat krem dengan gambar bunga, kupu-kupu dan 1 sisi dinding lainnya bercat hijau muda dengan gambar winnie the pooh and friends. Ruangan ini mempunyai penerangan yang cukup, tidak terlalu terang maupun tidak redup. Ruangan ini juga cukup sejuk dengan air conditioner (ac) yang dipasang dekat pintu masuk. Dalam terapi kali ini, ruangan sensori integrasi digunakan untuk 2 pasien. Selama subjek mengikuti terapi sensori integrasi tidak semua mainan yang ada digunakan dalam satu sesi terapi. Dalam sesi terapi kali ini hanya menggunakan puzzle angka, puzzle pakaian, perosotan, balon karet berukuran besar, bola karet berukuran kecil, 2 buah balok, tabung susun, dan puzzle bangun ruang.

3. Tanggal 19 Oktober 2010 di rumah subyek, Bekasi

1) Tingkah Laku

Ketika observer datang kerumah subjek, subjek sedang makan ciki bersama adiknya. Subjek mau salim dengan para observer dan menemani observer disofa. Subjek langsung memainkan lego pemberian observer yang dimainkan bersama kakak, adik, dan observer. Subjek terlihat cukup konsenterasi ketika membentuk lego-lego. Sesekali subjek tertawa ketika lego yang dibentuk runtuh sambil berkata,”yah”. Dan itu satu-satunya kata yang keluar selama observasi dihari itu. Ketika subjek diminta oleh observer untuk menggambar subjek pun mau mengikutinya. Subjek sudah dapat memegang pensil dan gambanya pun sudah mulai berbentuk apalgi kalau diberi contoh. Tiba-tiba subjek bangun dari duduknay dan berjalan menuju radia yang berada disudut ruangan dan menyalakan radio tersebut. Subjek lalu tersenyum dan berdiri cukup lama disamping radio. Perhatiannya pun teralihkan ketika subjek melihat handphone dan ia mematikan radio. Subjek memainkan game mobil-mobilan dalam handphone tersebut. Sesekali setiap permaianan tersebut selesai, subyek menarik tangan observer untuk memberi isyarat bahwa ia ingin memainkannya kembali tanpa mengucapkan sepatahkatapun. Subyek cukup lama memainkan game tersebut dan perhatiannya teralihkan ketika mobil pembawa barang-barang material berhenti di depan rumahnya. Subyek memperhatikan mobil tersebut selesai meletakkan barang-barang material untuk merenovasi rumahnya. Setelah masuk ke dalam rumah, subyek kembali menghidupkan radio. Ketika observer berpamitan pulang, subyek tetap berdiri di dekat radio tetapi tetap mau salim/cium tangan kepada observer. Ketika pbserver mulai berjalan meningggalkan rumahnya, subyek mengantarkan observer sampai depan pintu dan melambaikan tangannya.

2) Penampilan

Subyek mengenakan sepasang kaos dan celana pendek berwarna biru dengan gambar kartun Thomas & Friends.

3) Lingkungan Sekitar

Setting observasi kali ini di rumah subjek. Rumah subyek sedang dalam tahap renovasi. Selama observasi subyek, ibu subyek, kakak subjek, adik subyek dan observer berada di ruang tamu yang cukup berantakan perabotan rumah tangga maupun pasir-pasir karena rumahnya dalam renovasi. Awalnya kami duduk di sofa namun setelah subyek diberikan maninan lego oleh para observer, subyek duduk di lantai yang kotor bersama observer maupun kakak dan adiknya.

4. Tanggal 22 Oktober 2010 difisioterapi wisma bakti

1) Tingkah Laku

Dalam terapi wicara kali ini subjek melakukan 8 permainan antar lain:

1. Menyamakan warna-warna.

Subjek diminta untuk menyamakan warna merah, orange, biru, dan kuning. Subjek sering melakukan kesalahan dan masih membutuhkan bimbingan dalam menyamakan warna. Terapis meminta subjek untuk menyebutkan warna-warna tersebut dan subjek hanya tersenyum. Terapis mengajak berbincang ringan dengan subjek. Ketika terapis menanyakan pada subjek apakah ia sudah makan atau belum dan subjek mengatakan,”udah”. Terapis pun memberikan reward berupa senyum dan tepuk tangan untuk subjek dan subjek hanya membalas tersenyum.

2. Puzzle pakaian.

Subjek diminta untuk mencari potongan puzzle pakaian seperti, baju, topi, celana, dan sepatu. Subjek melakukan banyak kesalahan dalam melengkapi puzzle dan ketika subjek melakukan kesalahan subjek mengatakan,”yah” dan menunjuk dengan mengatakan, “ini”. Terapis meminta subjek untuk mengikuti terapis mengucapkan potongan puzzle tersebut. Ketika terapis meminta subjek mengucapkan baju subjek hanya menjawab,”uuu” dan beberapa kali perhatiannya teralihkan kemana-mana. Terkadang subjek tidak dapat duduk tenang dan ketika terapis memintanya untuk membenarkan posisi kursi dan mejanya, subjek mengerti dan mau disuruh menarik kursi 2 langkah dari tempat sebelumnya.

3. Menyamakan gambar-gambar.

Subjek diminta untuk menyamakan kartu bergambar. Subjek masih kesulitan untuk menyamakan gambar yang sama dan masih sering menebak-nebak dalam menjawab. Terkadang terapis harus bicara dengan nada tinggi agar subjek mau memperhatikan perintah terapis.

4. Menjulurkan lidah, meniup, dan menggetarkan bibir.

Subjek hanya kesulitan diminta menggetarkan bibir dan tidak dapat duduk tenang.

5. Memasukkan uang logam kedalam celengan dan berhitung 1 sampai 10.

Subjek mau memasukkan uang logam kedalam celengan tetapi tidak mau menghitung, Subjek lebih sering tersenyum.

6. Mengikuti gambar dari terapis.

Terapis membuat garis-garis lurus dan subjek hampir sempurna mencontoh gambar terapis.

7. Mencocokkan gambar yang dibuat terapis.

Subjek masih membutuhkan bimbingan untuk membuat garis hubungan terhadap gambar-gambar yang sama dibuat oleh terapis. Subyek sudah dapat memegang pensil dengan baik.

8. Menunjuk nama-nama hewan pada kartu sesuai dengan yang diucapkan terapis.

Subjek masih sering melakukan kesalahan setiap subjek sembarangan menunjuk kartu, subjek harus melipat tangan sampai terapis memberi perintah. Subjek hanya mengatakan,”hmmm” dan “ni” (ini) ketika subjek diminta untuk menyebutkan nama-nama hewan. Subjek juga diminta untuk menirukan suara hewan namun subjek hanya mengatakan,”uuu”.

2) Penampilan

Subjek menggunakan polo shirt berwarna biru dengan motif garis-garis horizontal dan celana bahan berwarna coklat. Serta memakai sandal berwarna merah muda dan tas ransel berwarna merah.

3) Lingkungan Sekitar

Setting observasi beradab didalam ruang terapi sensori integrasi walaupun kali ini subjek sedang terapi wicara. Dalam terapi wicara, ruangan ini hanya diisi oleh subyek tanpa ada pasien lain. Penerangan dalam ruangan ini cukup terang dan sejuk dengan ac. Dalam terapi wicara kali ini menggunakan kartu warna-warni, puzzle pakaian, kartu bergambar, celengan, uang logam, pensil, buku, dan gambar-gambar hewan.

F. HASIL PENGUMPULAN DATA

1. Wawancara dengan subyek

Observer tidak melakukan wawancara khusus dengan subjek karena keterbatasan subjek dalam berbicara. Observer hanya melakukan pendekatan dan mengajaknya bicara tentang hal-hal ringan meskipun subyrk tidak menjawab dengan kata-kata tetapi dengan bahasa tubuh yang dia berikan.

2. Wawancara dengan orang sekitar

Observer mencoba mencari tahu tentang masalah yang dihadapi subyek dengan orang-orang di sekitar subyek seperti ibu subyek, terapis wicara dan terapis okupasi. Berikut ini hasil wawancara dengan orang-orang di sekitar subyek:

1) Ibu subyek

Subjek merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Saat ibu subyek mengetahui bahwa ia mengandung anak ke dua, ibu subyek sempat khawatir apakah akan ada pengaruh dengan kehamilannnya yang kedua karena ketika hamil anak pertama sempat terdiagnosa terserang virus Robella meskipun anak pertama terlahir sempurna. Ketika ibunya sedang mengandung subjek dalam usia 4 bulan, ibu subyek terjatuh ketika sedang naik bis. Saat itu supir bis mengerem mendadak ketika sang ibu sedang berdiri sehingga sang ibu jatuh memutar dalam posisi duduk. Saat itu sang ibu merasakan pusing dan sayangnya sang ibu tidak kembali mengecek ke dokter kandungan. Subyek lahir dengan bobot yang normal sekitar 3 kg. Yang aneh adalah suara tangisnya ketika lahir tidak seperti suara tangis bayi normal lainnya. Suara tangis yang keluar vokal suara seperti “maaaa” sehingga nenek subyek berfikir kalau subyek memiliki kelebihan namun beberapa bulan kemudian suara tangisnya berubah menjadi seperti bayi normal lainnya. Ketika subyek berusia 2 bulan, subyek sering mengoceh ketika sedang tidur seperti “aaaaa” dan subyek sudah mulai belajar tengkurap sendiri meskipun subyek belum kuat tetapi subyek memiliki keinginan yang kuat. Sejak kecil subyek merupakan anak yang cengeng walaupun ketika menangis hanya sebentar saja.

Subyek sudah dapat berjalan ketika berusia 18 bulan tetapi orangtua subyek resah ketika subyek yang sudah berusia 2 tahun belum dapat berbicara, hanya mengoceh tetapi tidak ada kosakatanya. Orang tua subyek membawa subyek ke 2 orang dokter anak dan dokter THT yang mendiagnosis subjek tidak mengalami kerusakan neurologis namun mengalami terlambat bicara dan menyarankan agar subyek mengikuti terapi bicara serta memasukkannya ke dalam playgroup. Orang tua subyek juga pernah membawa subyek ke dokter syaraf, namun orang tua subyek tidak setuju dengan diagnosa dokter syaraf kalau subyek bisu.

Ketika subyek berusia 3 tahun, orangtua subyek membawanya terapi wicara di RS. Bella satu kali tetapi subyek dan orangtua subyek merasa tidak cocok karena dalam sesi terapi wicara subyek harus bersama-sama pasien yang lain sehingga subyek merasa tidak nyaman dan sering menanggis. RS Bella menyarankan agar subyek dimasukkan ke dalam playgroup. Lalu orangtua subyek membawa subyek untuk terapi wicara di RS Hermina namun baru dua kali terapi, orangtua subyek merasa tidak sanggup untuk mengantarkannya karena cukup jauh dari rumah. Sesuai dengan beberapa saran dari pihak ahli, orangtua subyek memasukkan sabyek ke dalam playgroup. Psikolog di playgroup tetap menyarankan terapi wicara namun ayahnya kurang setuju karena berfikir subyek akan dapat berbicara dengan sendirinya. Ayah subyek memang jarang berpendapat tentang anak-anaknya karena memang beliau mempunyai karakter pendiam.

Subyek merupakan murid yang mandiri untuk berangkat ke sekolah yang hanya di antar jemput oleh tukang ojek. Subyek sering duduk di barisan paling depan untuk mendengarkan gurunya meskipun tidak berbicara sepatah katapun. Subyek akan diam dan tidak melawan ketika di ganggu oleh teman-temannya. Subyek lebih senang membantu mendorong ayunan temannya dibandingkan harus naik ke ayunan.

Perkembangan bahasa dan kemapuan bicara subyek sempat terbantu oleh adiknya yang saat itu berusia 1 tahun yang sedang belajar berbicara. Pada usia 3 tahun subyek baru dapat mengucapkan “ini, itu, nggak mau (dalam 1 kata), udah, mi (umi), sini, ma (mana), bi (abi). Ketika berusia 4 tahun ada beberapa kosakata yang bertambah seperti “mama, papa, a dan ba (dalam huruf hijayah)” namun ada pula kosakata yang hilang, yaitu “sini”.

Ketika subyek berusia 4 tahun, orangtua subyek membawa subyek ke klinik autis namun selama tiga kali terapi wicara, subyek terus menangis meskipun sudah di temani oleh keluarganya dalam ruangan terapi. Usianya yang ke empat, subyek beranjak ke TK A namun orangtua subyek sering mendapatkan protes dari orangrua teman-teman sekelasnya yang sering dicelakakan atau didorong oleh subyek. Sikap ini berlangsung sekitar 2 bulan. Tidak lama subyek mengikuti kelas TK A namun subyek menjadi malas masuk sekolah dan selalu menangis setiap di ajak berangkat sekolah.

Ketika subyek beranjak ke usia 5 tahun, kosakata yang sudah pernah diperolehnya semakin jarang diucapkan. Namun walaupun subyek tidak dapat berbicara, subyek dapat membangun hubungan yang hangat dengan keluarganya dan sangat bersifat mengalah terhadap kakak maupun adiknya. Subyek dapat dengan cepat membangun hubungan yang hangat dengan orang lain apabila orang tersebut menunjukkan kasih sayangnya terhadap subyek.

Subyek tidak mempunyai masalah sosialisasi dengan teman-teman di sekitar rumahnya. Terkadang ada teman-teman yang mengajaknya bermain sepeda dan bermain bola di lapangan. Tidak jarang pula subyek pulang dengan menangis karena tidak bisa menangkap bola walaupun tidak ada teman-teman yang mengolok-oloknya. Orangtua juga mempunyai rasa khawatir ketika subyek sedang bermain di luar rumah tanpa kontrol orangtua, karena kerterbatasannya dalam bicara membuat orangtua subyek takut kalau anaknya di culik tanpa dapat berteriak minta tolong.

Subyek merupakan anak yang paling sehat jika dibandingkan kakak dan adiknya. Tubuhnya pun sempurna dan nafsu makannya bagus. Adapula sepupu laki-laki dari ayah subyek yang mengalami keterlambatan bicara seperti yang dialami subyek yang baru dapat berbicara setelah berusia 7 tahun dan di sekolahkan di sekolah khusus yang terdapat terapi wicaranya di Purbalingga. Hal ini lah yang menjadi salah satu pemikiran keluarga subyek tentang ada atau tidaknya faktor keturunan yang menyebabkan subyek terlambat bicara.

Semenjak 6 Agustus 2010, orangtua subyek membawa subyek untuk terapi wicara dan terapi okupasi dengan harapan dapat membantu subyek dalam perkembangannya yang terlambat dan mempersiapkan subyek sebelum masuk sekolah dasar. Orangtua subyek merasa kesulitan bagaimana caranya melatihnya dirumah karena agak sulit mempertahankan perhatian subyek. Subyek lebih tertarik untuk membuat rumah berantakan, merusak barang-barang dan memaikan game di ponsel. Subyek cukup pintar untuk memainkan game di ponsel, subyek dapat mengoperasionalkan ponsel orangtuanya meskipun masih dalam kondisi terkunci dan tanpa di ajari siapapun. Subyek juga dapat mengutak-atik radio jika ingin menyalakan radio taupun mengganti gelombang radio tanpa ada yang mengajari. Di rumah subyek memang sengaja tidak diberikan fasilitas menonton televisi karena orang tua subyek tidak menginginkan anak-anaknya terpengaruh oleh bahasa-bahasa atau tontonan yang tidak seharusnya dilihat anak kecil dan tidak ada protes dari anak-anak mereka akan hal tersebut.

2) Terapis wicara

Menurut terapis wicara, selama 6 kali pertemuan dalam terapi wicara subyek belum memperlihatkan kemajuan yang signifikan, seharusnya terapi wicara untuk anak seperti subyek harus dilakukan intensif seminggu dua kali, sedangkan subyek hanya seminngu sekali karena untuk terapi seperti ini tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan dan subyek sempat istirahat 1 bulan terapi karena pulang kampung. Pada pertemuan pertama kali terapi, subyek menangis cukup lama dan hanya pegangan di depan pintu ruangan terapi, setelah dibujuk, subyek hanya mau bermain dan melatih konsentrasi meskipun terkadang di selingi dengan menangis. Namun subyek menangis masih dapat diarahkan, jadi subyek mau bermain tetapi sambil menangis.

Pada pertemuan pertama, terapis melakukan observasi terhadap subyek. Terapis merujuk subyek untuk mengikuti terapi okupasi karena subyek memiliki konsentrasi yang rendah, perhatian yang rendah dan belum dapat bersikap tenang.

Dalam diagnosis terapi wicara, subyek mengalami terlambat bicara dalam kategori MR (mental retardasi) ringan karena subyek belum mengerti pemahaman-pemahaman sederhana di usianya yang sudah 5 tahun, contonya seperti subyek tidak dapat mengelompokkan warna-warna yang sama atau gambar-gambar yang sama. Menurut terapis wicara, wajar saja jika diagnosis antara terapi wicara dan terapi okupasi berbeda karena materi yang dipelajari dan kriteria berbeda, Dalam terapi wicara lebih ditekankan kepada pemahaman dan latihan ujaran/pengucapannya. Sedangkan dalam terapi okupasi lenih menekankan ke motorik dan konsentrasi.

3) Terapis okupasi

Subyek telah 3 kali mengikuti terapi okupasi sesuai rujukan dari terapis wicara. Metode terapi okupasi yang digunakan adalah terapi sensori integrasi untuk melatih konsentrasi, motorik, respon visual maupun pendengaran. Terapi okupasi memiliki diagnosa yang berbeda dengan terapi wicara tentang subyek. Menurut terapi okupasi, subyek mengalami terlambat bicara dalam kondisi ADD (attention deficit disorder).

Menurut terapis okupasi, penegakan diagnosa dapat dilakukan setiap profesi tetapi lebih bagus jika sharing antar profesi memang kadang menimbulkan bias, dokter juga kadang seperti itu. Kalau MR biasanya memiliki kopgnitif yang rendah dan jika di panggil responnya rendah. Untuk itu diagnosa harus di bantu dengan mengukur tes IQ sesuai usianya, namun sayangnya orangtua subyek belum pernah mengukur IQ subyek.

Saat pertama kali mengikuti terapi, subyek lebih banyak menangis, atensi buruk, konsentrasi buruk dan cenderung tidak mau mengenal hal-hal yang baru. Setelah 3 kali terapi, atensi dan kontak mata sudah mulai ada walaupun masih minim, motoriknya pun masih belum optimal, subyek belum mengenal anggota tubuh, belum mengenal warna-warna dan pemahaman sederhana lainnya.

Terapis telah membuat rencana untuk perkembangan terapi subyek antara lain meningkatkan atensi, meningkatkan konsentrasi, meningkatkan kontrol postur, propioseptif, kesadaran akan lingkungan, dan sosialisasi. Diagnosa subyek dapat berubah tergantung dari keberhasilan treatment.

Subyek termasuk anak yang non verbal dan kognitif subyek normal sehingga sudah mengerti perintah meskipun belum dapat menjalankan perintah dengan baik. Respon subyek memang masih kurang tetapi itu dikarenakan subyek mengalami gangguan atensi. Hal itu pulalah yang menyebabkan subyek sulit menerima pelajaran. Sebelum memberikan perintah, terapis harus menciptakan lingkungan yang nyaman, mencari kontak mata dan ketika diberi perintah pun subyek harus melihat terapis. Kognitif orang tersebut pun sangat mempengaruhi perkembangan pasien.

3. Observasi

Menurut data yang diperoleh, subyek sudah mengalami perbedaan dengan anak normal lainnya semenjak tangisan bayi ketika baru lahir yang mengelurkan suara vokal “maaaaa” dan suyek sudah dapat tengkurap sendiri ketika berusia 2 bulan sedangkan bayi normal baru setelah 4 bulan. Ketika berusia 6 bulan subyek telah dapat bubbling namun lama-lama menghilang. Kemampuan berbicara dan kosakata subyek berkurang semenjak usia 2 tahun. Subyek telah beberapa kali di bawa ke para ahli dan di diagnosa terlambat bicara. Subyek pun telah beberpa kali di ajak terapi wicara dan sempat dimasukkan ke dalam playgroup selama 1 tahun.

Terdapat 2 pendapat berbeda tentang diagnosis keterlambatan bicara pada subyek. Menurut tarapis wicara, sunyek mengalami terlambat bicara dalam kategori MR ringan karena subyek belum dapat mengusai pemahaman-pemahaman sederhana. Sedangkam menurut terapis okupsi, subyek mengalami terlambat bicara dalam kategori ADD karena subyek memiliki atensi dan konsentrasi yang rendah. Hal ini sering terjadi terlambat bicara dengan diagnosis yang berganti-ganti karena diagnosa anak kekhususan hanyalah menggunakan sistem penegakan diagnosa yang subyektif yaitu dengan menggunakan penilaian terhadap perilaku.

Ada pula teori dari Goorhuis dan Schaerlakeng yang menguatkan dugaan bahwa subyek terlambat bicara karena faktor genetik, sama halnya dengan masalah yang dialami oleh sepupu laki-laki subyek dari ayahnya. Dalam observasi ini menunjukan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan gejala yang dimiliki anak terhadap keterlambatan bicara. Adapun penjabaran atas perberdaaan dan persamaan dalam tabel berikut ini:

Gejala

Bentuk/Contoh

Hasil Observasi

Keterangan

Ya

Tidak

Fisik

1. Keturunan

Sepupu laki-laki dari keluarga ayahnya juga mengalami keterlambatan bicara dan baru dapat berbicara ketika berumur 7 tahun.

2. Refleks bagus

3. Berat badan ideal

Cenderung lebih gemuk

4. Tinggi badan ideal

5. Motorik belum optimal

· Masih ada beberapa motorik halus dan kasar yang belum optimal, seperti mengikat sepatu dan meloncat

· Masih perlu banyak melatih kekuatannya.

6. Perkembangan tulang

7. Perkembangan pancaindera baik

· Termasuk pendengaran subyek untuk mendengar setiap perintah yang diberikan oleh orang lain

· Tidak ada pula gangguan pada organ-organ bicara, seperti otot-otot mulut, bibir sumbing, dan langit-langit sumbing, gangguan otot-otot pernafasan serta gangguan pita suara.

8. Tidak memiliki kerusakan atau cacat neurologis

Secara fisik, subyek normal termasuk sistem syaraf pusat atau otak

9. Kebiasaan tidur teratur

10. Kebiasaan makan teratur

11. Kemandirian dalam berpakaian maupun buang air

Bahkan lebih mandiri jika dibandingkan dengan kakaknya (misalnya dalam berpakaian atau mandi) dan tidak ada masalah dengan toilet trainning.

12. Kesehatan lemah

Justru lebih sehat dan jarang sakit jika dibandingkan dengan kakak dan adiknya.

13. Mengalami gangguan ikutan (komorbiditas) dengan gangguan lainnya yang dapat menyebabkan kesulitan-kesulitan yang sulit diatasi.

Berupa gangguan motorik dan konsentrasi.

Kognitif

1. Responnya minim

Ada respon tetapi hanya merespon sekilas atau sebentar dan meresponpun jarang menggunakan kata-kata.

2. Atensinya rendah

Atensinya akan bertambah pada hal-hal yang dia sukai

3. Konsentrasi rendah

4. Penguasaan konsep bentuk dan pemahaman sederhana bagus

· Subyek belum menguasai konsep bentuk, bangun ruang, huruf dan angka.

· Suyek juga belum memahami pemahaman sederhana seperti mencocokan warna atau gambar yang sama.

5. Sulit mempertahankan perintah

6. Kesulitan mengikuti instruksi

Dikarenakan subyek memiliki konsentrasi yang rendah hingga subyek kesulitan mengikuti perintah dari orang lain meskipun sudah ada beberapa instruksi yang dapat dikuasai subyek dengan cepat.

7. Pergerakan dominan belahan otak sebelah kanan ke arah kiri yang mengalami perlambatan atau bahkan stagnasi (kondisi diam).

Belahan otak kiri tetap bekerja secara normal, namun kemampuan-kemampuan pada otak sebelah kanan akan lebih memberikan karakteristik utama baginya.

8. Mempunyai tingkat inteligensi yang sangat tinggi yaitu berada di atas persentil 98.

Belum dapat dipastikan, karena subyek belum pernah tes IQ dan untuk anak seperti subyek haruslah menggunakan pendekatan khusus karena beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh subyek.

Bahasa

1. Memiliki kosakata sedkit

Saat ini ada sekitar 10 kosakata yang dimiliki dan jarang diucapkan.

2. Gangguan pada bahasa ekspresif

· Produksi bahasa lebih rendah daripada pemahaman bahasa.

· Gangguan kesulitan menyampaikan pikiran dalam bentuk verbal

3. Kesulitan membangun kalimat dan bentuk kata-kata.

· Sampai saat ini subyek baru dapat mengatakan satu kata untuk mewakili apa yang dia inginkan atau menjawab pertanyaan.

· Adapun 2 kata yang dia katakan, yaitu “nggak mau” tetapi subyek menganggap bahwa itu merupakan 1 kata sehingga ia tidak pernah mengatakan “nggak” saja atau “mau” saja.

4. Menyampaikan sesuatu dengan menunjuk-nunjuk, menarik-narik, atau dengan suara-suara

Contohnya ketika subyek menginginkan sesuatu hanya mengatakan: aahh, uuh, yahh dan ni.

5. Ketertinggalan perkembangan bicara minimal satu tahun dari rata-rata usia anak mulai bicara (anak mulai bicara usia satu tahun).

Keterlambatan bahasa dan bicara anak sangat tertinggal. Sehingga kemampuan bahasa dan berbicaranya kalah dengan adiknya yang berusia 2 tahun.

Sosial

1. Tidak ada gangguan kontak sosial atau psikiatrik lainnya

Contoh seperti halnya autisme

2. Mampu membangun relasi yang hangat dengan orang tua, keluarga maupun teman di lingkungan sekitar

· Subyek hanya pernah mengalami kecanggungan dalam bersosialisasi ketika awal masuk playgroup dan TK A.

· Subyek akan cepat membangun hubungan yang hangat dengan orang asing jika orang tesebut menunjukkan kasih sayangnya dan subyek akan membalasnya walau tidak dengan kata-kata.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Irwan. (2008). Gangguan Bicara dan Bahasa pada Anak. http:/dokteranakku.com/wp_content/downloads/buku%20gangguan%20bicara%20dan%20bahasa.pdf. 10 Oktober 2010. 10:45.

Tiel, Julia Maria Van. (2006). Anakku Terlambat Bicara. Jakarta : Prenada.

Tiel, Julia Maria Van. (2009). PSIKOBUANA Jurnal Ilmiah Psikologi. psikobuana.com/Jurnal_Psikobuana_Vol1No2-Okt2009.pdf. 18 Oktober 2010. 23:47

Tiel, Julia Maria Van. (2010). Gifted terlambat bicara VS autisme dan atau ADHD/ADD bagaimana pendidikannya?. http:/gifted-disinkroni.com/gifted-terlambat-bicara-VS-autisme-dan-atau-ADHD.pdf. 14 Oktober 2010. 15:56

1 komentar:

  1. Alhamdulillah...tulisan ini sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas yg sama dari dosen psikologi klinis,dan saya sangat kebingungan sebelumnya karena belum faham cara membuat laporannya.sekali lagi terima kasih kepada yang membuat postingan ini.

    BalasHapus