Rabu, 09 November 2011

Etika Bisnis

Etika

Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” pun berasal dari bahasa yunani kuno. Kata yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan,sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.

Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Kata terakhir ini berasal dari bahasa latin mos (jamak:mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953) “etika” dijelaskan sebagai:”ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Seandainya penjelasan ini benar dan kita membaca dalam koran “Dalam dunia bisnis etika merosot terus”, maka kata “etika” di sini hanya bisa berarti “etika sebagai ilmu”. Tapi yang dimaksudkan dalam kalimat seperti itu ternyata bukan etika sebagai ilmu. Jika kita lihat melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru, di situ “etika” dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak ; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau bermasyarakat.

Pengertian Etika Bisnis

Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.

Beberapa hal yang mendasari perlunya etika dalam kegiatan bisnis:

· Selain mempertaruhkan barang dan uang untuk tujuan keuntungan, bisnis juga mempertaruhkan nama, harga diri, bahkan nasib manusia yang terlibat di dalamnya.

· Bisnis adalah bagian penting dalam masyarakat.

· Bisnis juga membutuhkan etika yang setidaknya mampu memberikan pedoman bagi pihak-pihak yang melakukannya.

Bisnis adalah kegiatan yang mengutamakan rasa saling percaya. Dengan saling percaya, kegiatan bisnis akan berkembang baik. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika yang menjamin kegiatan.

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah:

a. Pengendalian diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".

b. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.

c. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya.

Perkembangan informasi dan teknologi. Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi, informasi dan teknologi.

d. Menciptakan persaingan yang sehat

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

e. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan".

Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

f. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi).

Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

g. Mampu menyatakan yang benar itu benar.

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.

h. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah.

Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

i. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama.

Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan"gugur" satu semi satu.

j. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati.

Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

k. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan.

Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.

Etika Teleologi dan Deontologi

Baik tidaknya perbuatan dianggap tergantung pada konsekuensinya. Karena itu sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis. Masih ada cara lain untuk mengatakan hal yang sama. Sistem-sistem etika yang dibicarakan sebelumnya berorientasi pada tujuan perbuatan. Dalam utilitarisme, umpamanya, tujuan perbuatan-perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Karena itu bisa dikatakan juga bahwa semua sistem itu bersifat teleologis (terarah pada tujuan).

1. Deontologi Menurut I. Kant

Yang menciptakan sistem moral ini adalah filsafat besar Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau intelegensi, misalnya, adalah baik, jika digunakan, dengan baik oleh kehendak manusia, tapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat semua hal itu bia menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat.

www.scribd.com/doc/39576834/Pengertian-Etika-Bisnis